![]() |
Sumber: http://tatakelolahutan.net/333/ |
Mengenal
Gambut!
Kata gambut
adalah merupakan kosa kata bahasa Suku Melayu Banjar yang tinggal di Kalimantan
Selatan. Kata Gambut juga merupakan nama salah satu ibukota kecamatan gambut
yang terletak 15 km dari kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Daerah ini
mempunyai lahan gambut yang cukup luas sejak dibuka tahun 1920 dan berhasil
dibuka menjadi wilayah sentra poduksi padi sampai sekarang. Di Jawa tanah
gambut disebut tanah hitam, di Riau disebut tanah rawang dan di Kalimantan
Barat disebut sepuk.
Gambut
terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah
lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi
terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang
menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah
gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh
proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah
mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Sarwono H dan Abdullah
1989).
Sistem
klasifikasi tanah nasional (Dudal dan Soepraptohardjo 1971) menjelaskan bahwa
tanah gambut disebut ORGANOSOL (tanah yang tersusun dari bahan organik). Gambut
di daerah tropika termasuk di Indonesia umumnya terbentuk dalam ekosistem rawa.
Ketebalan gambut berkisar 0,5 – 3 m dan bagian tengah kubah ada ketebalan yang
mencapai lebih dari 9 m.
Pemanfaatan Lahan Gambut dan
Peraturannya
Lahan gambut tropis memiliki keragaman
sifat fisik dan kimia yang besar, baik secara spasial maupun vertikal. Karakteristiknya
sangat ditentukan oleh ketebalan gambut, substratum atau tanah mineral dibawah
gambut, kematangan, dan ada tidaknya pengayaan dari luapan sungai disekitarnya.
Karakteristik lahan seyogianya dijadikan acuan arah pemanfaatan lahan
gambut
untuk mencapai produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan. Sesuai dengan
Keppres No. 32/1990 gambut dengan ketebalan >3 m diperuntukkan kawasan konservasi.
Gambut dengan kedalaman < 3 m
dapat dimanfaatkan untuk pertanian dengan syarat lapisan mineral dibawah gambut
bukan pasir kuarsa atau liat berpirit, dan tingkat kematangan bukan fibrik.
Lebih lanjut Departemen Pertanian merekomendasikan untuk tanaman pangan dan
hortikultura diarahkan pada gambut dangkal (< 100 cm), dan untuk tanaman
tahunan pada
gambut
dengan ketebalan 2–3 m (Sabiham et al., 2008). Dasar pertimbangannya
adalah, gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif lebih tinggi dan risiko
lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam.
Pada tataran Undang undang, maka UU
No. 5 tahun 1990 akan terkait dengan gambut yang berada pada wilayah konservasi
(taman nasional, cagar alam, dll). Demikian juga UU No. 41 tahun 1999 yang akan
terkait dengan gambut yang berada di dalam kawasan hutan. Sedangkan untuk
sektor perkebunan, maka UU No. 18 tahun 2004 akan menjadi acuan bagi komoditi
perkebunan yang ada di lahan gambut (misal : kelapa sawit) dan Peraturan
Menteri Pertanian No. 14 tahun 2009 tentang Pemanfaatan Lahan Gambut untuk
Budidaya Kelapa Sawit . Pada aspek keruangan, UU No. 27 tahun 2007 akan
berimplikasi pada kesatuan hidrologis gambut dan kesesuaiannya dengan tata
ruang. Dari kesemuanya, UU No. 32 tahun 2009 yang paling memiliki kaitan erat
dan menjadi aturan yang memayungi ekosistem gambut. Tahun 2014 Pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 71 tentang perlindungan dan pengelolaan
ekosistem gambut yang memang secara khusus memberikan pengaturan terkait
gambut.
Dampak Penggunaan
Lahan Gambut
Penggunaan lahan gambut
untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian saat ini
berkembang begitu pesat. Ratusan ribu hektar lahan gambut dialih fungsikan dan
dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Lahan
gambut menjadi kawasan yang sangat prospektif untuk perluasan perkebunan kelapa
sawit di Indonesia. Namun akhir-akhir ini banyak menuai protes dari para
pemerhati dan penggiat lingkungan hidup baik dari dalam negeri maupuan dari
luar negeri. Hal ini didasari atas kekhawatiran akan rusaknya lahan gambut
sebagai fungsi ekosistem yang kompleks.
Beragamnya bentuk alih
fungsi menyebabkan terjadinya penurunan (degradasi) fungsi strategis lahan
gambut, sehingga meningkatkan luas kawasan lahan kritis. Lahan gambut dapat
menyusut atau bahkan hilang, untuk itu pemantauan lahan gambut secara periodik
sangat diperlukan. Penyebab umum penyusutan lahan gambut di Indonesia, umumnya
disebabkan oleh pemanfaatan lahan gambut dan dikelola secara intensif tanpa
mempertimbangan kaidah konservasi tanah dan air. Sebagai contoh di kabupaten
Pesisir Selatan, provinsi Sumatera Barat. Hasil pantauan menggunakan citra
satelit tahun 1990-an dan tahun tahun 2000-an, lahan rawa gambut sejak adanya
pembukaan lahan untuk permukiman transmigrasi Silaut lahan rawa gambut
berkurang lebih dari 50%.
Kegiatan
pembangunan perkebunan kelapa sawit meliputi pembukaan lahan, penanaman,
pemeliharaan, pemanenan, pengangkutan, pengolahan hasil dan pemasaran.
Kegiatan-kegiatan tersebut dampaknya akan berbeda jauh ketika dilakukan di
lahan gambut, dibandingkan dengan dilakukan di lahan mineral, mengingat lahan
gambut merupakan lahan yang unik dan rentan terhadap kerusakan (Rosidin Hufron
2013).
Pembukaan
lahan gambut akan menurunkan fungsi hutan gambut sebagai pemasok bahan-bahan
yang bernilai ekonomi seperti kayu, ikan dan daging satwa, rotan, getah dan
tanaman obat yang biasa dimanfatkan oleh masyarakat lokal. Pembukaan lahan
gambut juga akan menurunkan fungsi konservasi bagi spesies langka dan
dilindungi, satwa langka dan tumbuhan penting, komunitas dan ekosistem.
Pembukaan kanal-kanal drainase akan mengurangi fungsi lahan gambut sebagai
pengendali hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan mencegah
banjir dan kebakaran, karena berubahnya sifat fisik gambut diakibatkan oleh
adanya drainase yang berlebih sehingga berdampak pada pengeringan gambut. Hal
ini karena Drainase yang berlebih juga berpotensi munculnya pirit atau tanah
dengan sulfat masam dan intrusi air laut (Rosidin Hufron 2013).
Kebakaran
pada lahan gambut terjadi karena pembukaan lahan gambut dengan cara membakar,
rata-rata menurunkan tingkat permukaan gambut sekitar 10 cm. Penurunan tanah
gambut setiap 10 cm maka akan berakibat tanah akan kehilangan kemampuan
menyimpan air sebanyak 800 m3 per hektar. Terjadinya kebakaran ini karena
lemahnya hukum yang ada di Indonesia dan masih adanya indikasi pembiaran dalam
pembukaan lahan dengan di bakar yang terdapat pada Undang-Undang No 32 tahun
2009 tentang pembukaan lahan hutan secara pembakaran terkendali atau kearifan
lokal dengan luasan maksimal 2 hektar perkepala keluarga. Terjadinya kebakaran
hutan di lahan gambut sehingga pemerintah pusat mengeluarkan Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut yang menutup izin
pengolahan gambut.
Saran
Pengelolaan Lahan Gambut
Pengelolaan
lahan gambut agar tetap berkelanjutan yaitu dengan meminimalkan dampak pembangunan
di lahan gambut baik digunakan untuk perkebunan, pertanian, perumahan dan
lain-lain yang sudah berjalan maupun yang akan dilakukan, maka perlu suatu
strategi atau upaya pengelolaan yang baik dan benar yang memenuhi kaidah-kaidah
pembangunan berkelanjutan. Upaya-upaya tersebut yang sesuai dengan sifat dan
karakteristik lahan gambut. Apabila hutan rawa gambut diperlakukan secara baik
dan benar sesuai dengan kemampuan atau daya dukung lahan gambutnya, maka hasil
yang diperoleh mampu memberikan sesuatu yang menjanjikan. Sebaiknya pengelolaan
lahan dilakukan dengan memperhatikan ekosistem lahan gambut, kubah gambut sama
sekali tidak boleh dibuka. Saluran drainase pada lahan gambut harus diatur
dengan sangat ketat agar mampu mempertahankan muka air, termasuk muka air tanah
yang sesuai dengan kebutuhan ruang perakaran tanaman atau membuat suatu sistem
tata air (water management system)
yang betul-betul terencana dengan baik sehinga dapat memperhatikan tinggi muka
air yang sesuai.
Upaya-upaya
tersebut membutuhkan peranan aktif dari pemerintah pusat dalam pengelolaan
lahan gambut seperti memastikan berjalannya one map policy sebagai dasar perencanaan
pembangunan nasional serta yang mengeluarkan perizinan dalam pembukaan lahan,
tidak menerbitkan izin baru pemanfaatan lahan gambut sebagai antisipasi dalam
meminimalisir terjadinya kerusakan lahan gambut, restorasi besar-besaran lahan
gambut sebagai upaya mengembalikan fungsi ekologis dari lahan gambut itu
sendiri, dan mengkaji ulang atas izin-izin lama di lahan gambut.
Daftar
Pustaka
Hufron
Rosidin. 2013. Dampak Penggunaan Lahan
Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit yang Mengabaikan Kelestarian. Samarinda
(ID). Prodi: Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas 17 Agustus 1945.
Sarwono
H dan Abdullah. 1989. Sifat-sifat dan
potensi tanah gambut Sumatera untuk pengembangan pertanian. In Muis Lubis A
et all. Edisi. Prosiding Seminar: Tanah Gambut untuk
perluasan pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara, Medan
(ID). 43-79.
Dudal
dan Soepraptohardjo. 1971. Klasifikasi
Tanah di Indonesia. Bogor (ID): Balai Penyelidikan Tanah.
Komentar
Posting Komentar